Kamis, 09 Desember 2010

Tanggung Jawab Sosial Perusahaan

Tanggung jawab sosial dan keterlibatan perusahaan dalam berbagai kegiatan sosial merupakan suatu nilai yang sangat positif bagi perkembangan dan kelangsungan perusahaan dalam jangka panjang. Keterlibatan sosial perusahaan di masyarakat akan menciptakan suatu citra yang sangat positif. Biaya sosial yang dikeluarkan dianggap sebagai investasi jangka panjang. Kelestarian lingkungan, perbaikan prasarana umum, penyuluhan, pelatihan, dan perbaikan kesehatan lingkungan walaupun memerlukan biaya yang signifikan, namun secara jangka panjang sangat menguntungkan perusahaan, karena kegiatan tersebut menciptakan iklim sosial politik yang kondusif bagi kelangsungan bisnis perusahaan tersebut.

Dapat kita lihat, pada saat libur merayakan hari Idul Fitri, beberapa perusahaan memberikan fasilitas mudik gratis bagi masyarakat yang terkait langsung dengan perusahaan, contohnya seperti bank dengan nasabahnya, perusahaan yang memproduksi obat tradisional dengan bakul jamunya, dan lain-lain.

Bagi situasi dunia yang semakin global sekarang ini, masing-masing pihak saling tergantung, serta tidak ada lagi perusahaan yang tertutup atau tidak mau melakukan perbaikan-perbaikan untuk kemajuan. Perusahaan yang masih tidak mengindahkan hal-hal semacam ini, cepat atau lambat akan semakin ditinggalkan oleh pelanggannya.

Sumber :

http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:1KibThGeL8oJ:edratna.wordpress.com/2006/12/06/budaya-korporatif-etika-bisnis-dan-corporate-sosial-responsibilities/+artikel+bisnis+sebuah+etika&cd=3&hl=id&ct=clnk&gl=id

Etika Utilitarianisme Dalam Bisnis

Banyak teori dan pelajaran tentang etika (contohnya adalah filsafat terapan) yang mengevaluasi masalah-masalah moral. Diantaranya adalah teori-teori Aristotelianisme, consequentialisme, instrumentalisme, hedonisme, egoisme, altruisme, utilitarianisme, deontologisme, dan etika Kantian.

Teleological ini dianut oleh pengikut utilitarianisme, di antara para pemukanya terdapat Jeremy Bentham (1748-1832) dan John Stuart Mill (1806-1973). Termasuk pula di dalam analisis teleological ini adalah pandangan dari filsuf kontemporer John Rawls yang dinamakan “veil of ignorance”, didasarkan kepada prinsip distributive justice.

Utilitarianisme adalah bentuk etika teleological yang lebih familiar dikenal oleh pelaku-pelaku bisnis yang memusatkan pandangannya terhadap masalah “the bottom line”. Keputusan-keputusan bisnis diambil dengan pandangan yang dipusatkan kepada akibat yang mungkin timbul atau konsekuensi apabila terjadi pertentangan di antara keputusan-keputusan itu, pertanyaan yang selalu diajukan adalah tentang “apa yang terbaik bagi perusahaan?”.

Jika pelaku bisnis, yang merupakan suatu badan hukum yaitu perusahaan, mempertimbangkan hanya bagaimana agar suatu tindakan akan memberikan keuntungan yang besar, maka hal ini adalah merupakan pandangan utilitarianisme. Utilitarianisme dalam hal ini dikenal sebagai salah satu dari pandangan dengan analisis laba-rugi (cost-benefit).

Menurut pandangan utilitarianisme, kerangka yang harus digunakan dalam rangka mempertimbangkan suatu tindakan yang akan diambil, harus didasarkan pada perhitungan atas akibat atau konsekuensi dari tindakan itu. Tujuannya adalah untuk memilih alternatif yang menghasilkan “yang paling baik bagi kelompok terbesar.” Akan tetapi, pandangan ini dihadapkan kepada dua pertanyaan yang sangat penting, yaitu untuk mencapai tujuan, seseorang harus mampu untuk mengidentifikasi apa yang paling “baik” dan siapa yang merupakan kelompok “terbesar” dalam setiap transaksi termasuk pula akibat setiap pemutusan kontrak bisnis terhadap karyawannya yang kemungkinan akan kehilangan pekerjaan atau setidaknya kekurangan penghasilan karena berkurangnya produksi dan seterusnya mempertimbangkan akibat tersebut terhadap keluarga karyawan.

Kaum Utilitarian mengemukakan alasan bahwa hal yang baik yang dapat diikuti mungkin adalah apa yang dapat merupakan kesempatan agar bisnis berjalan lancar dan para pekerja yang membutuhkan dapat dipekerjakan. Hal yang buruk adalah bila perusahaan tidak mendapat pembayaran, para pekerjanya akan menderita, dan, bila pengamatnya adalah seorang Utilitarian, akibat buruk akan datang dari pihak lain yang menganggap bahwa seseorang dapat membuat janji palsu dengan tidak melakukan pembayaran.

Prinsip-prinsip utilitarianisme juga dapat digunakan dalam pengambilan keputusan sebagai analisis pemegang saham (stakeholder analysis) dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

1. Menentukan bagaimana suatu biaya dan manfaat akan dapat diukur dalam memilih satu langkah tindakan atas tindakan yang lain.

2. Menentukan informasi apa yang dibutuhkan untuk menentukan biaya dan manfaat sebagai alat perbandingan.

3. Mengindentifikasi prosedur-prosedur dan kebijakan-kebijakan yang akan digunakan untuk menjelaskan dan membenarkan analisis atas biaya dan manfaat.

4. Menetapkan asumsi ketika mendefinisikan dan membenarkan analisis dan kesimpulan yang diambil.

5. Menentukan kewajiban moral terhadap tiap pemegang saham setelah biaya dan manfaat diestimasi untuk pengambilan strategi yang spesifik.

Sumber :

http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:-XRq-a5kEEUJ:one.indoskripsi.com/node/6540+artikel+etika+utilitarianisme+dalam+bisnis&cd=19&hl=id&ct=clnk&gl=id ,

http://faii99.blogspot.com/2009/11/etika-bisnis-dalam-praktek.html

Bisnis dan Etika

Aspek pokok dari bisnis yaitu dapat berasal dari sudut pandang etika yaitu dalam bisnis, berorientasi pada profit adalah sangat wajar, akan tetapi jangan keuntungan yang diperoleh tersebut justru merugikan pihak lain. Tidak semua yang dapat kita lakukan boleh dilakukan juga. Kita harus menghormati kepentingan dan hak orang lain. Pantas diperhatikan, bahwa dengan itu kita sendiri tidak dirugikan, karena menghormati kepentingan dan hak orang lain itu juga perlu dilakukan demi kepentingan bisnis kita sendiri.

Bila bisnis dilihat dari sudut pandang moral. Yang menjadi tolok ukur untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan bisnis. Dari sudut pandang moral, setidaknya ada 3 tolok ukur yaitu nurani, kaidah emas, dan penilaian umum yang seperti dijelaskan seperti berikut :
1. Hati nurani

Suatu perbuatan adalah baik, bila dilakukan susuai dengan hati nuraninya, dan perbuatan lain buruk bila dilakukan berlawanan dengan hati nuraninya.

2. Kaidah Emas

Cara lebih obyektif untuk menilai baik buruknya perilaku moral adalah mengukurnya dengan kaidah emas positif, dan rumusan kaidah emas secara negatif.

3. Penilaian Umum

Cara ketiga dan barangkali paling ampuh untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan atau perilaku adalah menyerahkan kepada masyarakat umum untuk menilai.

Kata "etika" dan "etis" tidak selalu dipakai dalam arti yang sama, dan karena itu pula "etika bisnis" dapat berbeda artinya. Etika sebagai praksis berarti nilai-nilai, dan norma-norma moral sejauh dipraktekkan atau justru tidak dipraktekkan, walaupun seharusnya dipraktekkan. Sedangkan etis merupakan sifat dari tindakan yang sesuai dengan etika. Peranan etika dalam bisnis menurut Richard De George, bila perusahaan ingin sukses/berhasil memerlukan 3 hal pokok yaitu :

1. Produk yang baik
2. Managemen yang baik

3. Memiliki Etika

Etika bisnis adalah acuan bagi perusahaan dalam melaksanakan kegiatan usaha termasuk dalam berinteraksi dengan pemangku kepentingan (stakeholders). Penerapan nilai-nilai perusahaan dan etika bisnis secara berkesinambungan mendukung terciptanya budaya
perusahaan. Setiap perusahaan harus memiliki rumusan etika bisnis yang disepakati bersama dan dijabarkan lebih lanjut dalam pedoman perilaku.


Sumber : http://www.scribd.com/doc/18575776/ETIKA-BISNIS

Bisnis Sebuah Etika

Berbisnis Memerlukan Etika

Salah satu keinginan dan hasrat manusia adalah menjadi lebih baik secara ekonomis. Pada arah ini, tujuan bisnis adalah melipatgandakan keuntungan atau maksimalisasi profit. Sehingga ketika berwacana tentang etika bisnis, kita seolah-olah berhadapan dengan dua hal yang berbeda bahkan bertentangan.

Kedua hal tersebut adalah etika sebagai refleksi atas norma-norma moral manusia, khususnya pebisnis kontemporer, dan hakikat bisnis yang selalu terarah kepada maksimalisasi keuntungan sebagai tujuan tertinggi sekaligus terakhir. Para pebisnis yang menetapkan keuntungan diatas segala-galanya yang tentu akan menganggap norma-norma moral sebagai kendala, setidaknya bersifat relatif terhadap upaya pencapaian tujuan bisnis.

Kelompok pebisnis seperti ini merupakan orang-orang yang membangun bisnisnya dengan perspektif jangka pendek. Mereka adalah sosok-sosok pebisnis yang piawai dalam hal lobi dan kolusi yang secara strategis melakukan tindakan-tindakan laksana tukang pukul atau tukang tembak sesaat. Mereka bukan pebisnis sungguhan, karena hanya sekadar mencari dan meraup keuntungan.

Etika bisnis mengandalkan bahwa ketika menghadapi benturan-benturan atau persoalan-persoalan moral dalam praksis bisnis, para pebisnis akan merefleksikan norma-norma moral baik secara kritis maupun secara sistematis sehingga mereka dapat mengambil langkah-langkah yang tepat demi pengembangan diri semua yang terkait dalam keseluruhan proses bisnis melalui pelaksanaan tugas dan kewajiban secara bertanggung jawab.

Dengan demikian, etika bisnis atau etika dalam berbisnis memampukan para pebisnis untuk memilih berbagai ajaran moral dan menerapkannya secara bertanggung jawab dalam wilayah kegiatan ekonomis atau bisnis. Etika bisnis juga memberikan orientasi kepada para pebisnis, khususnya para pebisnis kontemporer agar mampu bersikap secara tepat dan bertanggung jawab menghadapi transformasi ekonomi, sosial, budaya, dan transformasi intelektualyang tengah gencar melanda manusia zaman ini.

Penerapan norma-norma moral (kejujuran, kepercayaan, tanggung jawab, keberanian moral, fairness, realistik-kritis, rendah hati, hormat kepada diri sendiri dan orang lain, dan kepedulian) dalam berbisnis yang direfleksikan secara kritis dan sistematis sama sekali bukan malapetaka bagi sebuah bisnis. Etika tidak merugikan seseorang dalam mengoperasikan bisnisnya. Belum pernah terjadi kalau sebuah bisnis yang dibangun dan dioperasikan diatas norma-norma moral akan gagal atau gulung tikar.

Justru etika dalam berbisnis melanggengkan bisnis dan memampukan pebisnis untuk mengambil pelanggan sebanyak-banyaknya dalam waktu sesingkat-singkatnya demi maksimalisasi keuntungan. Etika dapat dipandang sebagai unsur efisiensi dalam keseluruhan proses bisnis. Dalam kaitannya dengan penerapan etika bisnis di Indonesia, bukan hanya pebisnis saja yang harus menerapkan etika bisnis, tetapi juga pemerintah dan konsumen atau pelanggan serta masyarakat yang secara langsung dan tidak langsung terjaring dalam proses sebuah bisnis.

Perilaku etis pebisnis merujuk kepada wawasan keadilan sosial, wawasan nasional dan wawasan lingkungan hidup. Pada tatanan etis, pemerintah dituntut untuk menciptakan kondisi yang memadai bagi pertumbuhan dan perkembangan ekonomi nasional. Tuntutan-tuntutan etis itu mengkristal dalam posisi strategis pemerintah sebagai pemberi arah yang terwujud sebagai bimbingan, ayoman, serta sebagai pemberi petunjuk yang jelas dan pasti kepada para pebisnis sebagai pelaku sekaligus ujung tembok pertumbuhan perekonomian nasional.

Sumber :

http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:0RmxntOOsSQJ:bataviase.co.id/node/290020+artikel+tentang+bisnis+sebuah+etika&cd=30&hl=id&ct=clnk&gl=id


Teori – Teori Etika Bisnis

Keperluan Kepada Etika

Etika adalah satu bidang mengenai melakukan perkara yang betul. Ahli falsafah mendapati ia adalah subjek yang rumit. Teori etika diasaskan kepada andaian bahwa manusia adalah rasional dan bebas membuat pilihan. Teori etika sebenarnya mencoba meningkatkan keamanan, kegembiraan, dan kesejahteraan manusia. Peraturan etika melibatkan semua orang yang bertujuan untuk mencapai keputusan yang baik untuk semua manusia. Perilaku yang tidak beretika, walaupun tidak melanggar undang-undang boleh menjelaskan kerjanya dan reputasi kita. Etika juga merupakan satu disiplin ilmu yang mengkaji tentang moral, prinsip moral, kaidah moral, dan tindakan serta kelakuan manusia yang betul. Kajian mengenai etika dibagi menjadi dua yaitu yang pertama etika umum yang terdiri dari etika deskriptif, etika normatif, dan metaetika. Dan yang kedua etika khusus yang terdiri dari falsafah dan bidang khusus yang mencakup mengaplikasikan kajian etika umum dalam bidang-bidang khas seperti bisnis, politik, sains dan sebagainya.

Pengenalan Teori Etika

Menurut French dan Granrose (1995), teori etika adalah set panduan atau peraturan bertingkah laku dalam menyelesaikan konflik terhadap keinginan. Sedangkan menurut Buchnolz pada tahun 1989, teori etika adalah sistem berupa panduan tingkah laku. Dan menurut Shea pada tahun 1988 di halaman 17 pada bukunya, teori etika adalah prinsip bertingkah laku yang mengawali individu atau profesional dan sebagai satuan standar tingkah laku.

Teori dan Aliran Pemikiran

Teori Teologi adalah teori yang aliran pemikirannya melihat kebaikan dan keburukan sesuatu tindakan yang tidak diketahui baik dan buruknya sehingga melihat kepada kesannya. Teori Deontologi atau non consequentialist adalah teori yang aliran pemikirannya berasaskan kepada prinsip asas yaitu kewajiban manusia per individu. Teori utilitarianisme yang merupakan suatu aliran atau dimensi dibawah teori Teologikal yang dikenal sebagai consequentialism yaitu doktrin moral yang menghendaki manusia supaya bertindak untuk menghasilkan kebaikan secara maksimum. Jeremy Bentham (1748-1832) dan Jhon Stuart Mill (1806-1873) adalah dua orang tokoh yang dikaitkan dengan teori ini. Jenis-jenis Utilitarianism yaitu Act Utilitarianism, Hedonistic Utilitarianism.

Sumber : http://www.docstoc.com/docs/47371835/TEORI-ETIKA