Banyak teori dan pelajaran tentang etika (contohnya adalah filsafat terapan) yang mengevaluasi masalah-masalah moral. Diantaranya adalah teori-teori Aristotelianisme, consequentialisme, instrumentalisme, hedonisme, egoisme, altruisme, utilitarianisme, deontologisme, dan etika Kantian.
Teleological ini dianut oleh pengikut utilitarianisme, di antara para pemukanya terdapat Jeremy Bentham (1748-1832) dan John Stuart Mill (1806-1973). Termasuk pula di dalam analisis teleological ini adalah pandangan dari filsuf kontemporer John Rawls yang dinamakan “veil of ignorance”, didasarkan kepada prinsip distributive justice.
Utilitarianisme adalah bentuk etika teleological yang lebih familiar dikenal oleh pelaku-pelaku bisnis yang memusatkan pandangannya terhadap masalah “the bottom line”. Keputusan-keputusan bisnis diambil dengan pandangan yang dipusatkan kepada akibat yang mungkin timbul atau konsekuensi apabila terjadi pertentangan di antara keputusan-keputusan itu, pertanyaan yang selalu diajukan adalah tentang “apa yang terbaik bagi perusahaan?”.
Jika pelaku bisnis, yang merupakan suatu badan hukum yaitu perusahaan, mempertimbangkan hanya bagaimana agar suatu tindakan akan memberikan keuntungan yang besar, maka hal ini adalah merupakan pandangan utilitarianisme. Utilitarianisme dalam hal ini dikenal sebagai salah satu dari pandangan dengan analisis laba-rugi (cost-benefit).
Menurut pandangan utilitarianisme, kerangka yang harus digunakan dalam rangka mempertimbangkan suatu tindakan yang akan diambil, harus didasarkan pada perhitungan atas akibat atau konsekuensi dari tindakan itu. Tujuannya adalah untuk memilih alternatif yang menghasilkan “yang paling baik bagi kelompok terbesar.” Akan tetapi, pandangan ini dihadapkan kepada dua pertanyaan yang sangat penting, yaitu untuk mencapai tujuan, seseorang harus mampu untuk mengidentifikasi apa yang paling “baik” dan siapa yang merupakan kelompok “terbesar” dalam setiap transaksi termasuk pula akibat setiap pemutusan kontrak bisnis terhadap karyawannya yang kemungkinan akan kehilangan pekerjaan atau setidaknya kekurangan penghasilan karena berkurangnya produksi dan seterusnya mempertimbangkan akibat tersebut terhadap keluarga karyawan.
Kaum Utilitarian mengemukakan alasan bahwa hal yang baik yang dapat diikuti mungkin adalah apa yang dapat merupakan kesempatan agar bisnis berjalan lancar dan para pekerja yang membutuhkan dapat dipekerjakan. Hal yang buruk adalah bila perusahaan tidak mendapat pembayaran, para pekerjanya akan menderita, dan, bila pengamatnya adalah seorang Utilitarian, akibat buruk akan datang dari pihak lain yang menganggap bahwa seseorang dapat membuat janji palsu dengan tidak melakukan pembayaran.
Prinsip-prinsip utilitarianisme juga dapat digunakan dalam pengambilan keputusan sebagai analisis pemegang saham (stakeholder analysis) dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. Menentukan bagaimana suatu biaya dan manfaat akan dapat diukur dalam memilih satu langkah tindakan atas tindakan yang lain.
2. Menentukan informasi apa yang dibutuhkan untuk menentukan biaya dan manfaat sebagai alat perbandingan.
3. Mengindentifikasi prosedur-prosedur dan kebijakan-kebijakan yang akan digunakan untuk menjelaskan dan membenarkan analisis atas biaya dan manfaat.
4. Menetapkan asumsi ketika mendefinisikan dan membenarkan analisis dan kesimpulan yang diambil.
5. Menentukan kewajiban moral terhadap tiap pemegang saham setelah biaya dan manfaat diestimasi untuk pengambilan strategi yang spesifik.
Sumber :
http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:-XRq-a5kEEUJ:one.indoskripsi.com/node/6540+artikel+etika+utilitarianisme+dalam+bisnis&cd=19&hl=id&ct=clnk&gl=id ,
http://faii99.blogspot.com/2009/11/etika-bisnis-dalam-praktek.html